"Maaf, saya kurang pandai berbahasa daerah.."
Yah.. begitu-lah kalau misalnya suatu obrolan
sudah mulai datang pada pembicaraan tentang "coba terjemahkan kalimat ini
ke Bahasa daerahmu".
Jawabanku "Maaf, saya kurang tau..", Selalu mengundang kernyitan di dahi para penanya yang sudah penasaran dengan bunyi bahasa daerah kampung-ku dari kalimat yang mereka lontarkan. "Masa' sih ga tau?" ujar mereka dengan tatapan tidak percaya. Oh my God, buat apa aku berbohong? Saya memang benar-benar tidak tau.
Bukan
apa-apa, tetapi almarhum Abi (panggilan saya kepada ayah) berasal dari Alor-Wolwal dan
Ummi (panggilan saya kepada ibu) berasal dari Solor-Lohayong. Solor dan Alor adalah dua daerah yang
berada di 2 pulau berbeda dengan bahasa, logat dan adat yang jauh bebeda. Entah karena alasan perbedaan tersebut atau apa, semenjak kecil kami dibiasakan berkomunikasi sehari-hari di rumah dengan Bahasa
Indonesia, meskipun dengan aksen yang bercampur-campur karena kami dulu sering
berpindah-pindah tempat tinggal. Saat
tinggal di Kupang, tentu saja kami ber-Bahasa Indonesia dengan aksen Kupang,
dengan perubahan kata "saya" menjadi "beta", "tidak" menjadi "sonde", dll., tapi itupun
belum kupahami betul. Karena, saya bukan asli Kupang. Begitu pun saat tinggal
di Alor dan Mbay (sekarang, Nagekeo). Di Alor dan Mbay, bahasa yang kami
gunakan malah lebih baku lagi dibanding saat di Kupang, sekali lagi tentu saja
Bahasa Indonesia tapi dengan aksen daerah setempat. Biasanya di Alor dan Mbay
bahasa Indonesianya juga disingkat singkat seperti di Kupang, contohnya kata
"tidak" disingkat menjadi" ti", kata "saya" yang
disingkat menjadi "sa" dan "juga" menjadi " ju".
Baik Abi
ataupun Ummi, sangat-jarang-sekali menggunakan bahasa daerah saat berbicara
pada kami, ditambah lagi dengan tempat tinggal keluarga (inti) kami yang dulu
sering berpindah-pindah, kami, lebih khususnya aku dibanding dengan ketiga
saudaraku, minim kosakata bahasa daerah baik itu bahasa Wolwal maupun Solor
Lohayong. Hanya beberapa kata saja yang aku mengerti dari bahasa
Solor-Lohayong, untuk bahasa Alor-Wolwal, ingatan saya tentang satu dua
kosakata yang sudah berusaha ku hafal sedikit diragukan. Mengapa? tentu saja
karena faktor lingkungan (rumah) tempat saya lebih banyak mengahabiskan waktu
yang menggunakan bahasa Indonesia sehari-harinya sehingga meskipun saya sudah
menghafal banyak kosakata, tetapi karena pembelajaran dan juga penerapan yang
kurang, maka itu sama saja sia-sia.
Sambil
menulis catatan ini, saya juga akhirnya menyadari bahwa kemampuan berbahasa
Arab saya yang juga memang tidak bagus-bagus amat, menjadi semakin tidak bagus
lagi sekarang. Mengapa? Karena kurangnya pembelajaran, penerapan dan
penggunaannya dalam 4 tahun terakhir ini dibandingkan dengan saat mondok di
Malang dulu.
***
Akhirnya,
sebenarnya tulisan ini kurang memiliki poin penting. Hanya di dominasi oleh
cerita-cerita curahan hati saya yang akhirnya tergelitik untuk menulis tentang
ini, setelah ke sekian kalinya mendapat tatapan dan kalimat tidak percaya dari
orang-orang ketika saya bilang bahwa saya tidak menguasai bahasa daerah asal
saya. Hehehe :D
Tapi ada
juga kan hikmah yang bisa di ambil? Hikmahnya gak tersirat kok, sudah tersurat
denga jelas diatas :). Kalau mau di peribahasakan nih bisa kayak gini nih:
"Ilmu tanpa amal itu seperti pohon berbuah yang
tidak menghasilkan buah"
DAN....
Saya masih proses belajar bahasa daerah.. Lama-lama pasti bisa!! 💪
########
DAN....
Saya masih proses belajar bahasa daerah.. Lama-lama pasti bisa!! 💪
########
Source: gambar 1: Mix dari Giphy Instagram
gambar 2: bahasa.net
kerenlahh....
ReplyDeleteApa yang keren Ham? 😂
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteCeritanya lg curhat niihh?
ReplyDeleteLagi berenang saya, dek 😂😂😂
Delete